Kelompok 5
Nama
Kelompok :
·
Mougy Jessie
·
Muhamad Riski Maulana
·
Muhammad Burhan Nurdin
·
Muhammad Naufal Sabarrudin
·
Niken Apriliana
Kelas
: 1IA22
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan rangkuman ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan rangkuman
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga Kami mampu
untuk menyelesaikan pembuatan rangkuman sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu
Budaya Dasar dengan judul “Manusia Dan Keindahan”.
Kami tentu menyadari bahwa rangkuman ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk rangkuman ini, supaya rangkuman
ini nantinya dapat menjadi rangkuman yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada rangkuman ini kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
kami yang telah membimbing kami dalam menulis rangkuman ini.
Demikian,
semoga rangkuman ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Bekasi,
16 Juni 2019
Penyusun
Kata
keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek,
dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni,
pemandangan alam, manusia, rumah, tatanan, perabot rumah tangga, suara, warna,
dan sebaginya. Kawasan keindahan bagi manusia sangat luas, seluas
keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban teknologi,
sosial, dan budaya. Karena itu keindahan dapat dikatakan, bahwa keindahan
merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Dimanapun kapan pun dan siapa saja dapat menikmati keindahan.
Keindahan
adalah identik dengan kebenaran. Keindahan kebenaran dan kebenaran adalah
keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu abadi, dan mempunyai daya
tarik yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak
indah. Karena itu tiruan lukisan Monalisa tidak indah, karena dasarnya tidak benar.
Sudah tentu kebenaran disini bukan kebenaran ilmu, melainkan kebenaran menurut
konsep seni. Dalam seni, seni berusaha memberikan makna sepenuh-penuhnya
mengenai obyek yang diungkapkan.
Keindahan
juga bersifat universal, artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu
dan tempat, selera mode, kedaerahan atau lokal.
Sebenarnya
sulit bagi kita untuk menyatakan apakah keindahan itu. Keindahan itu suatu
konsep abstrak yang tidak dapat dinikmati karena tidak jelas. Keindahan itu
baru jelas jika telah dihubungkan dengan sesuatu yang berwujud atau suatu
karya. Dengan kata lain keindahan itu baru dapat dinikmati jika dihubungkan
dengan suatu bentuk. Dengan bentuk itu keindahan dapat berkomunikasi. Jadi,
sulit bagi kita jika berbicara mengenai keindahan, tetapi jelas bagi kita jika
berbicara mengenai sesuatu yang indah. Keindahan hanya sebuah konsep, yang baru
berkomunikasi setelah mempunyai bentuk, misalnya lukisan, pemandangan alam,
tubuh yang molek, film, nyanyian.
Menurut
The Liang Gie dalam bukunya “Garis besar estetika”. Menurut asal katanya, dalam
bahasa Inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata “beutiful” dalam bahasa
Perancis “beau”, sedang Italia dan spanyol “bello” berasal dari kata latin
“bellum”. Akar katanya adalah “bonum” yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai
bentuk pengecilan menjadi “bonellum” dan terakhir diperpendek sehingga ditulis
“bellum.
Menurut
cakupannya orang harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita
abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam
bahasa Inggris sering dipergunakan istilah beauty (keindahan) dan the beautiful
(benda atau hal yang indah). Dalam pembatasan filsafat kedua pengertian itu
kadang-kadang dicampuradukkan saja. Disamping itu terdapat pula perbedaan
menurut luasnya pengertian, yakni :
a) keindahan dalam arti yang luas
b) keindahan dalam arti estetis murni
c) keindahan dalam arti terbatas dalam
hubungannya dengan penglihatan
Keindahan
dalam arti luas merupakan pengertian semula dari bangsa Yunani dulu yang
didalamnya tercakup pula kebaikan. Plato misalnya menyebut tentang watak yang
indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagi
sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang
indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani dulu berbicara pula mengenai buah
pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Tapi bangsa Yunani juga
mengenal pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya 'symmetria”
untuk keindahan berdasarkan penglihatan ( misalnya pada karya pahat dan
arsitektur ) dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Jadi
pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi :
·
keindahan
seni
·
keindahan
alam
·
keindahan
moral
·
keindahan
intelektual
Keindahan
dalam arti estetis murni menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti terbatas lebih disempitkan sehingga
hanya menyangkut benda-benda yang dicerapnya dengan penglihatan, yakni berupa
keindahan dari bentuk dan warna.
Dari
pembagian dan pembedaan terhadap keindahan diatas, masih belum jelas apakah
sesungguhnya keindahan itu. Ini memang merupakan suatu persoalan filsafati yang
jawabannya beraneka ragam. Salah satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang ada
pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau
kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya
adalah sejumlah kwalita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kwalita
yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony),
kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast).
Dari
ciri itu dapat diambil kesimpulan, bahwa keindahan tersusun dari berbagai
keselarasan dan kebaikan dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata. Ada
pula yang berpendapat, bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan
yang selaras dalam suatu benda dan di antara benda itu dengan si pengamat.
Filsuf
dewasa ini merumuskan keindahan sebagai kesatuan hubungan yang terdapat antara
pencerapan-pencerapan inderawi kita (beaty is unity of formal relations of our
sense perceptions).
Sebagian
filsuf lain menghubungan pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure),
yang merupakan sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran.
Filsuf abad pertengahan Thomas Aguinos (1225-1274) mengatakan, bahwa keindahan
adalah sesuatu yang menyenangkan bilamana dilihat.
Ternyata
untuk menjawab “apakah keindahan itu” banyak sekali jawabannya. Karena itu
dalam estetika modem orang lebih suka berbicara tentang seni dan dan pengalaman
estetik, karena ini bukan pengalaman abstrak melainkan gejala konkret yang
dapat ditelaah dengan pengamatan secara empirik dan penguraian yang sistematik.
Dalam
rangka teori umum tentang nilai The Liang gie menjelaskan bahwa pengertian
keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai seperti hal nya nilai moral,
nilai ekonomik, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai yang berhubungan dengan
segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik.
Masalahnya
sekarang ialah : apakah nilai estetik itu ? dalam bidang filsafat, istilah
nilai seringkali dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti
keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Dalam dictionary of sociology
and related sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terinci lagi
sebagai berikut :
“The
believed capacity of any object to satisfy a human desire. The guality of any
abject which causes it to be on interest to an individual or a group”. (
kemampuan yang dipercaya ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan
manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
sesuatu golongan).
Menurut
kamus itu selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang
harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia
dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat
pada sesuatu benda sampai terbukti ketakbenarannya.
Tentang
nilai itu ada yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif, atau
ada yang membedakan nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tetapi
penggolongan yang penting adalah nilai ekstrinsik dan nilai instrinsik.
Nilai
ekstrinsik adalah sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau sarana untuk
sesuatu hal lainnya (instrumental/contributory value), yakni nilai yarlg
bersifat sebagai alat atau membantu.. Nilai instrinsik adalah sifat baik dari
benda yang bersangkutan, atau sebagai suatu tujuan, ataupun demi kepentingan
benda itu sendiri.
Contoh :
1) puisi bentuk puisi yang terdiri
dari bahasa, diksi, baris, sajak, irama, itu disebut nilai ekstrinsik.
Sedangkan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui (alat benda)
puisi itu disebut nilai instrinsik.
2)
Tari,
tarian Damarwulan-minakjinggo suatu tarian yang halus dan kasar dengan segala
macam jenis pakaian dan gerak-geriknya.
Tarian
itu merupakan nilai ekstrinsik, sedangkan pesan yang ingin disampaikan oleh
tarian itu ialah kebaikan melawan kejahatan merupakan nilai instrinsik.
Keindahan
dapat dinikmati menurut selera seni dan selera biasa. Keindahan yang didasarkan
pada selera seni didukung oleh faktor kontemplasi dan ekstansi. Kontemplasi
adalah dasar dalam diri manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah. Ekstansi
adalah dasar dalam diri manusia untuk menyatakan, merasakan dan menikmati
sesuatu yang indah. Apabila kedua dasar ini dihubungkan dengan bentuk di luar
diri manusia, maka akan terjadi penilaian bahwa sesuatu itu indah. Sesuatu yang
indah itu memikat atau menarik perhatian orang yang melihat, mendengar. Bentuk
diluar diri manusia itu berupa karya budaya yaitu karya seni lukis, seni suara,
seni tari, seni sastra, seni drama dan film, atau berupa ciptaan Tuhan misalnya
pemandangan alam, bunga warna-wami, dan lain-lain.
Apabila
kontemplasi dan ekstansi itu dihubungkan dengan kreativitas, maka kontemplasi
itu faktor pendorong untuk menciptakan keindahan, sedangkan ekstansi itu
merupakan faktor pendorong utuk merasakan, menikmati keindahan. Karena drajad
kontemplasi dan ekstansi itu berbeda-beda antara setiap manusia, maka tanggapan
terhadap keindahan karya seni juga berbeda-beda. Mungkin orang yang satu
mengatakan karya seni itu indah, tetapi arang lain mengatakan karya seni itu
tidak/kurang indah, karena selera seni berlainan.
Bagi
seorang seniman selera seni lebih dominan dibandingkan dengan orang bukan
seniman. Bagi orang bukan seniman mungkin faktor ekstansi lebih menonjol. Jadi,
ia lebih suka menikmati karya seni daripada menciptakan karya seni. Dengan kata
lain, ia hanya mampu menikmati keindahan tetapi tidak mampu menciptakan
keindahan.
Keindahan
itu pada dasarnya adalah alamiah. Alam ciptaan Tuhan. Ini berarti bahwa
keindahan itu ciptaan Tuhan. Alamiah artinya wajar, tidak berlebihan tidak pula
kurang. Kalau pelukis melukis wanita lebih cantik dari keadaan sebenarnya,
justru tidak indah. Bila ada
pemain drama yang berlebih-lebihan: misalnya marah dengan meluap-luap padahal
masalahnya kecil, atau karena kehilangan sesuatu yang tidak berharga kemudiah
menangis meraung-raung, itu berarti tidak indah.
Pengungkapan
keindahan dalam karya seni didasari oleh motivasi tertentu dan dengan tujuan tertentu
pula. Motivasi itu dapat berupa pengalaman atau kenyataan mengenai penderitaan
hidup manusia, mengenai kemerosotan moral, mengenai perubahan nilai-nilai dalam
masyarakat, mengenai keagungan Tuhan, dan banyak lagi lainnya. Tujuannya tentu
saja dilihat dari segi nilai kehidupan manusia, martabat manusia, kegunaan bagi
manusia secara kodrati. Berikut ini akan dicoba menguraikan alasan/motivasi dan
tujuan seniman menciptakan keindahan.
(1) Tata nilai yang telah usang
Tata
nilai yang terjelma dalam adat istiadat ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan, sehingga dirasakan sebagai hambatan yang merugikan dan mengorbankan
nilai-nilai kemanusiaan, misalnya kawin paksa, pingitan, derajad wanita lebih
rendah dari derajad laki-laki. Tata nilai semacam ini dipandang sebagai
mengurangi nilai moral kehidupan masyarakat, sehingga dikatakan tidak indah.
Yang tidak indah harus disingkirkan dan digantikan dengan yang indah. Yang
indah ialah tata nilai yang menghargai dan mengangkat martabat manusia,
misalnya wanita.
Hal
ini menjadi tema para sastrawan zaman Balai Pustaka, dengan tujuan untuk
merubah keadaan dan memperbaiki nasib kaum wanita. Sebagai contoh novel yang
menggambarkan keadaan ini ialah “layar terkembang” oleh Sutan Takdir
Alisyahbana, “Siti Nurbaya” oleh Marah Rusli.
(2) Kemerosotan Zaman
Keadaan
yang merendahkan derajad dan nilai kemanusiaan ditandai dengan kemerosotan
moral. Kemerosotan moral dapat diketahui dari tingkah laku dan perbuatan
manusia yang bejad terutama dari segi kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual ini
dipenuhinya tanpa menghiraukan ketentuan-ketentuan hukum agama, dan moral
masyarakat. Yang demikian itu dikatakan tidak baik, yang tidak baik itu tidak
indah. Yang tidak indah itu harus disingkirkan melalui protes yang antara lain
diungkapkan dalam karya seni.
Sebagai
contoh ialah karya seni berupa sanjak yang dikemukakan oleh W.S.Rendra berjudul
“Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”. Di sini pengarang memprotes
perbuatan bejad para pejabat, yang merendahkan derajad wanita dengan mengatakan
sebagai inspirasi revolusi, tetapi tidak lebih dari pelacur.
(3) penderitaan
manusia
Banyak
faktor yang membuat manusia itu menderita. Tetapi yang paling menentukan ialah
faktor manusia itu sendiri. Manusialah yang membuat orang menderita sebagai
akibat nafsu ingin berkuasa, serakah, tidak berhati-hati dan sebagainya.
Keadaan
demikian ini tidak mempunyai daya tarik dan tidak menyenangkan, karena nilai
kemanusiaan telah diabaikan, dan dikatakan tidak indah. Yang tidak indah itu
harus dilenyapkan karena tidak bermanfaat bagi kemanusiaan.
(4) Keagungan Tuhan
Keagungan
Tuhan dapat dibuktikan melalui keindahan alam dan keteraturan alam semesta
serta kejadian-kejadian alam. Keindahan alam merupakan keindahan mutlak ciptaan
Tuhan. Manusia hanya dapat meniru saja keindahan ciptaan Tuhan itu.
Seindah-indah tiruan terhadap ciptaan Tuhan, tidak akan menyamai keindahan
ciptaan Tuhan itu sendiri. Kecantikan seorang wanita ciptaan Tuhan membuat
kagum seniman Leonardo da Vinci. Karena itu ia berusaha meniru ciptaan Tuhan
dengan melukis Monalisa sebagai wanita cantik. Lukisan monalisa sangat terkenal
karena menarik dan tidak membosankan.
Dalam
buku AN Essay on Man (1954), Ems Cassirer mengatakan bahwa arti keindahan tidak
bisa pemah selesai diperdebatkan. Meskipun demikian, kita dapat menggunakan
kata-kata penyair romantik John Keats (1795-1821) sebagai pegangan. Dalam
Endymion dia berkata :
A
thing of beuty is a joy forever
its
loveliness iscreases, it wil never pass into nothingness
Dia
mengatakan, bahwa sesuatu yang indah adalah keriangan selama-lamanya,
kemolekannya bertambah, dan tidak pernah berlalu ke ketiadaan. Dari sini kita
mengetahui bahwa keindahan hanyalah sebuah konsep yang baru berkomunikasi
setelah mempunyai bentuk. Karena itu dia tidak berbicara langsung mengenai
keindahan, akan tetapi sesuatu yang indah.
Dalam
sajak di atas, Keats mengambil bahannya dari Endymion yang terdapat dalam
mitologi Yunani kuno. Endymion dalam mitologi itu sendiri merupakan penjabaran
dari konsep keindahan pada jaman Yunani kuno. Menurut mitologi Yunani ini,
Endymion adalah seorang gembala yang oleh para dewa diberi keindahan abadi. Dia
selalu muda, selamanya tidur, dan tidak pernah diganggu oleh siapapun.
Menurut
Keats, orang yang mempunyai konsep keindahan hanya tertentu jumlahnya. Mereka
mempunyai negatif capability, yaitu kemampuan untuk selalu dalam keadaan
ragu-ragu, tidak menentu dan misterius tanpa mengganggu keseimbangan jiwa dan
tindakannya hanya pikiran dan hatinya yang selalu diliputi keresahan.
Mengenai
keindahan, Coleridge mengutip Shakespeare (1564-1616) dalam karyanya midsummer
night: Thing base and vile holding no guality/ love can transpose to form and
dignity”, yaitu sesuat yang rendah dan tidak menpunyai nilai, dapat berubah dan
menjadi berarti. Inilah yang menggelisahkan Coleridge. Dia menggunakan tembakau
sebagai contoh: karena kekuatan kebiasaanlah, maka tembakau yang sebenarnya
tidak enak dapat menjadi nikmat. Perubahan ini dapat mempengaruhi imajinasi:
dengan merasakan nikmatnya tembakau maka dalam angan-angan seseorang, segala
sesuatu yang berhubungan dengan tembakau dapat menjadi indah. Coleridge
melihat, bahwa kebiasaan mempunyai akibat terhadap daya tangkap terhadap
sesuatu yang indah, dan karena itu juga dapat mempengaruhi konsep keindahan
seseorang.
Kegelisahan
Coleridge ini tercermin dalam “Frost at midnight (1798), sebuah sanjak mengenai
salju tipis yang turun di tengah malam. Salju inilah yang baginya merupakan hal
sesaat. Jatuhnya salju ini mengingatkan Coleridge pada dusunnya yang penuh
sesak orang. Disini proses imajinasinya mulai tumbuh. Kemudian keadaan dusun
yang penuh sesak iru melompat ingatannya pada masa kanak-kanak. maka
terbentuklah konsep keindahan, disini: kesepihan, kesendirian, dan
ketidakberdosaan (innocence) anak kecil adalah keindahan. Keindahan adalah
sublimasi yang terjadi karena kebebasan menyendiri dan hikmah ketidakberdosaan.
Selanjutnya
Keats membedakan antara orang biasa dan seniman, dan antara seniman biasa dan
seniman yang baik yang dapat mencipta sesuatu yang indah menurut dia. Pada
sesuatu kesempatan ia melihat lukisan “Death on the Pale Horse”, karya pelukis
West, misalnya, yaitu mengenai seseorang yang mati di atas kuda yang pucat, dia
langsung berpendapat bahwa West bukanlah seniman yang baik. Menurut Keats, West
tidak mempunyai cukup negative capability.
Pada
hakekatnya negative capability adalah suatu proses. Keraguan, ketidaktentuan
dan misteri adalah suatu proses. Proses inilah yang membuat seseorang menjadi
kreatif. Orang yang tidak mempunyai negative capability tidak akan kreatif,
karena segala sesuatu baginya sudah jelas, tidak menimbulkan keraguan dan tidak
merupakan misteri. Bagi Keats, proses kreativitas identik dengan perjuangan
untuk menciptakan keindahan, atau lebih tepatnya, menciptakan sesuatu yang
indah. Ini terlihat antara lain pada sanjaknya sendiri, “Endymon”, yang
mempunyai banyak kesalahan. Sekalipun dalam sanjak ini dia dapat membuat
batasan mengenai sesuatu yang indah, akan tetapi dia merasa sanjak ini ternyata
bukan sanjak yang indah dan dengan demikian tidak berhasil mengungkapkan
keindahan sendiri. Padahal pembaca sanjak itu segera mempunyai konsensus bahwa
Endymon lambang keindahan, meskipun Keats sendiri sanjak nya gagal.
Mengenai
burung bul-bul, suatu hari Keats duduk di kursi malas di bahwah pohon, kemudian
tertidur. Beberapa saat terbangun, dan merasa mendengar suara burung bul-bul.
Imajinasinya langsung bekerja, dan langsung membentuk konsep keindahan.
Menulislah ia, bahwa didunia ini “beauty cannot keep her lustors eyes”, yaitu
keindahan tidak dapat menyembunyikan mata yang bersinar-sinar.
Ada
persamaan hakiki antara J.Keats dan Coleridge dalam menanggapi hal-hal sesaat.
Bagi mereka hal-hal sesaat adalah pelatuk yang meledakkan imajinasi dan
imajinasi ini langsung membentuk keindahan.
Renungan
berasal dari kata renung, artinya diam-diam memikirkan sesuatu, atau memikirkan
sesuatu dengan dalam-dalam. Renungan adalah hasil merenung. Dalam merenung
untuk menciptakan seni ada beberapa teori. Teori-teori itu ialah : teori
pengungkapan, teori metafisik dan teori psikologi.
Dalil
dari teori ini ialah bahwa “Art is an expression of human feeling” (seni adalah
suatu pengungkapan dari perasaan manusia ). Teori ini terutama bertalian dengan
apa yang dialami oleh seorang seniman ketika menciptakan suatu karya seni.
Tokoh
teori ekspresi yang paling terkenal ialah filsuf Italia Benedeto Croce
(1886-1952) dengan karyanya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
“aesthetic as Science of Expresion and General Linguistic”. Beliau antara lain
menyatakan bahwa “art is expression of impressions” (Seni adalah pengungkapan
dari kesan-kesan) Expression adalah sama dengan intuition. Dan intuisi adalah
pengetahuan intuitif yang diperoleh melalui penghayatan tentang hal-hal
individuil yang menghasilkan gambaran angan-angan (images). Dengan demikian
pengungkapan itu berwujud pelbagai gambaran angan-angan seperti misalnya images
warna, garis dan kata. Bagi seseorang pengungkapan berarti menciptakan seni dalam
dirinya tanpa perlu adanya kegiatan jasman:ah keluar. Pengalaman estetis
seseorang tidak lain adalah ekspresi dalam gambaran angan-angan.
Seorang
tokoh lainnya dari teori pengungkapan adalah Leo Tolstoi dia menegaskan bahwa
kegiatan seni adalah memunculkan dalam diri sendiri suatu perasaan yang
seseorang telah mengalaminya dan setelah memunculkan itu kemudian dengan
perantaraan pelbagai gerak, garis, warna, suar dan bentuk yang diungkapkan
dalam kata-kata memindahkan perasaan itu sehingga orang-orang mengalami
perasaan yang sama.
Teori
seni yang bercorak metafisis merupakan salah satu teori yang tertua, yakni
berasal dari Plato yang karya-karya tulisannya untuk sebagian membahas estetik
filsafati, konsepsi keindahan dan teori seni. Mengenai sumber seni Plato
mengemukakan suatu teori peniruan (imitation theory). Ini sesuai dengan
metafisika Plato yang mendalilkan adanya dunia ide pada taraf yang tertinggi
sebagai realita Ilahi. Pada taraf yang lebih rendah terdapat realita duniawi
ini yang merupakan cerminan semu dan mirip realita ilahi itu. Dan karya seni
yang dibuat manusia hanyalah merupakan mimemis (tiruan) dari realita duniawi
Sebagai contoh Plato mengemukakan ide Ke-ranjangan yang abadi, asli dan indah
sempurna ciptaan Tuhan. Kemudian dalam dunia ini tukang kayu membuat ranjang
dari kayu yang merupakan ide tertinggi ke-ranjangan-an itu. Dan akhirnya
seniman meniru ranjang kayu itu dengan menggambarkannya dalam sebuah lukisan.
Jadi karya seni adalah tiruan dari suatu tiruan lain sehingga bersifat jauh
dari kebenaran atau dapat menyesatkan. Karena itu seniman tidak mendapat tempat
sebagai warga dari negara Republik yang ideal menurut Plato.
Dalam
jaman modem suatu teori seni lainnya yang juga bercorak metafisis dikemukakan
oleh filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860). Menurut beliau seni adalah suatu
bentuk dari pemahaman terhadap realita. Dan realita yang sejati adalah suatu
keinginan (will) yang sementara. Dunia obyektif sebagai ide hanyalah wujud luar
dari keinginan itu. Selanjutnya ide-ide itu mempunyai perwujudan sebagai
benda-benda khusus. Pengetahuan sehari-hari adalah pengetahuan praktis yang
berhubungan dengan benda-benda itu. Tapi ada pengetahuan yang lebih tinggi
kedudukannya, yakni yang diperoleh bilamana pikiran diarahkan kepada ide-ide dan merenungkannya demi
ide-ide itu sendiri. Dengan melalui perenungan semacam ini lahirlah karya seni.
Seniman besar adalah seseorang yang mampu dengan perenungannya itu menembus
segi-segi praktis dari benda-benda disekelilingnya dan sampai pada maknanya
yang dalam, yakni memahami ide-ide dibaliknya.
Teori-teori
metafisis dari para filsuf yang bergerak diatas taraf manusiawi dengan
konsepsi-konsepsi tentang ide tertinggi atau kehendak semesta umumnya tidak
memuaskan, karena terlampau abstrak dan spekulatif. Sebagian ahli estetik dalam
abad modem menelaah teori-teori seni dari sudut hubungan karya seni dan alam
pikiran penciptanya dengan mempergunakan metode-metode psikologis. Misalnya
berdasarkan psikoanalisa dikemukakan teori bahwa proses penciptaan seni adalah
pemenuhan keinginan-keinginan bawah sadar dari seseorang seniman. Sedang karya
seninya itu merupakan bentuk terselubung atau diperhalus yang diwujudkan keluar
dari keinginan-keinginan itu.
Suatu
teori lain tentang sumber seni ialah teori permainan yang dikembangkan oleh
Freedrick Schiller (1757-1805) dan Herbert Spencer (1820-1903). Menurut
Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main (play
impulse) yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan
menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan dengan adanya
kelebihan energi yang harus dikeluarkan. Bagi Spencer, permainan itu berperanan
untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan kemudian
menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin meningkat taraf
kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari,
kelebihan tenaga itu lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan
rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan yang akhirnya menghasilkan
karya seni. Teori permainan tentang seni tidak sepenuhnya diterima oleh para
ahli estetik. Keberatan pokok yang dapat diajukan jalah bahwa permainan
merupakan Suatu kreasi, padahal seni adalah kegiatan yang serius dan pada
dasarnya kreatif.
Sebuah
teroi lagi yang dapat dimasukkan dalam teori psikologis ialah teori penandaan
(signification Theory) yang memandang seni sebagi suatu lambang atau tanda dari
perasaan manusia. Simbol atau tanda yang menyerupai atau mirip dengan benda
yang dilambangkan disebut iconic sign (tanda serupa), misalnya tanda lalu
lintas yang memperingatkan jalan yang berbelok-belok dengan semacam huruf Z
adalah suatu tanda yang serupa atau mirip dengan keadaan jalan yang dilalui.
Menurut teori penandaan itu karya seni adalah iconic signs dari proses
psikologis yang berlangsung dalam diri manusia, khususnya tanda-tanda dari
perasaannya. Sebagai contoh sebuah lagu dengan irama naik turun dan alunan
cepat lambat serta akhimya berhenti adalah simbol atau tanda dari kehidupan
manusia dengan pelbagai perasaannya yang ada pasang atau Surut serta
tergesa-gesa atau santainya dan ada akhirnya.
Keserasian
berasal dari kata serasi dan dari kata dasar rasi, artinya cocok, kena benar,
dan sesuai benar. Kata cocok, kena dan sesuai itu mengandung unsur perpaduan,
pertentangan, ukuran dan seimbang.
Dalam
pengertian perpaduan- misalnya, orang berpakaian harus dipadukan warnanya
bagian atas dengan bagian bawah. Atau disesuaikan dengan kulitnya. Apabila cara
memadu itu kurang cocok, maka akan merusak pemandangan. Sebaliknya, bila serasi
benar akan membuat orang puas karenanya. Atau orang yang berkulit hitam kurang
pantas bila memakau baju warna hijau, karena warna itu justru menggelapkan
kulitnya.
Pertentanganpun
menghasilkan keserasian. Misalnya dalam dunia musik, pada hakekatnya irama yang
mengalun itu merupakan pertentangan suara tinggi rendah, panjang pendek, dan
keras lembut.
Karena
itu dalam keindahan ini, sebagian ahli pikir menjelaskan, bahwa keindahan pada
dasarnya adalah sejumlah kualitas / pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu
hal. Kualita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity). keselarasan
(harmony), kesetangkupan (symetry), keseimbangan (balance), dan keterbalikan
(contrast). Selanjutnua dalam hal keindahan itu dikatakan tersusun dari
berbagai keselarasan dan keterbalikan dari garis, warna, bentuk, nada dan
kata-kata. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu
kumpulan hubungan yang serasi dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan
si pengamat.
Filsuf
Ingris Herbert Read merumuskan definisi, bahwa keindahan adalah kesatuan dan
hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan inderawi
kita (beauti is unity of formal relations among our sence-perception). Pendapat
lain menganggap pengalaman estetik suatu keselarasan dinamik dari perenungan
yang menyenangkan. Dalam keselarasan itu seseorang memiliki perasaan-perasaan
seimbang dan tenang, mencapai cita rasa akan sesuatu yang terakhir dan rasa
hidup sesaat di tempat-tempat kesempurnaan yang dengan senang hati ingin
diperpanjangnya.
The
Liang Gie dalam bukunya garis besar estetika menjelaskan, bahwa dalam mencipta
seni ada dua teori yakni teori obyektif dan teori subyektif.
Salah
satu persoalan pokok dari teori keindahan adalah mengenai sifat dasar dari
keindahan. Apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah atau
hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut. Dari
persoalan-persoalan tersebut lahirlah dua kelompok teori yang terkenal sebagai
teori obyektif dan teori subyektif.
Pendukung
teori obyektif adalah Plato, Hegel dan Berard Bocanguat, sedang pendukung teori
subyektif ialah Henry Home, Earlof Shaffesbury, dan Edmund Burke.
Teori
obyektif berpendapat, bahwa keindahan atau ciri-ciri yang mencipta nilai
estetik adalah sifat (kualita) yang memang telah melekat pada bentuk indah yang
bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan orang hanyalah
mengungkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama
sekali tidak berpengaruh untuk menghubungkan. Yang menjadi masalah
ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau
dianggap bernilai estetik, salah satu jawaban yang telah diberikan selama
berabad-abad ialah perimbangan antara bagian-bagian dalam benda indah itu.
Pendapat lain menyatakan, bahwa nilai estetik itu tercipta dengan terpenuhinya
asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda.
Teori
subyektif, menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan suatu benda
itu tidak ada, yang ada hanya perasaan dalam diri seseorang yang mengamati
sesuatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si
pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetik,
maka hal itu diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman
estetik sebagai tanggapan terhadap benda indah itu.
Yang
tergolong teori subyektif ialah yang memandang keindahan dalam suatu hubungan
di antara suatu benda dengan alam pikiran sescorang yang mengamatinya seperti
misalnya yang berupa menyukai atau menikmati benda itu.
Teori
obyektif memandang keindahan sebagai suatu kwalita dari benda-benda: Kwalita
bagaimana yang menyebabkan sesuatu benda disebut indah telah dijawab olch
bangsa Yunani Kuno dengan teori perimbangan yang bertahan sejak abab 5 sebelum
Masehi sampai abab 17 di Eropa. Sebagai contoh bangunan arsitektur Yunani Kuno
yang berupa banyak tiang besar.
Teori
perimbangan tentang keindahan dari bangsa Yunani Kuno dulu dipahami pula dalam
arti yang lebih terbatas, yakni secara kualitatif yang diungkapkan dengan
angka-angka. Keindahan dianggap sebagai kualita dari benda-benda yang disusun
(yakni mempunyai bagian-bagian). Hubungan dari bagian-bagian yang menciptakan
keindahan dapat dinyatakan sebagai perimbangan atau perbandingan angka-angka.
Bangsa
Yunani menemukan bahwa hubungan-hubungan matematik yang cermat sebagaimana
terdapat dalam ilmu ukur dan berbagai pengukuran proporsi ternyata dapat
diwujudkan dalam benda-benda bersusun yang indah. Bahkan Pythagoras yang
mencetuskan teori proporsi itu menemukan bahwa macamnya nada yang dikeluarkan
oleh seutas senar tergantung pada panjang senar itu dan bahwa macamnya nada
yang dikeluarkan oleh seutas senar akan menghasilkan susunan nada yang selaras
(yakni indah di dengar), apabila panjangnya masing-masing senar itu mempunyai
hubungan perimbangan bilangan-bilangan yang kecil misalnya 1:1, 1:2, 2:3 dan
seterusnya. Jadi menurut teori proporsi ini keindahan terdapat dalam suatu
benda yang bagian-bagiannya mempunyai hubungan satu sama lain sebagai bilangan - bilangan
kecil. Contoh visual untuk perimbangan yang menyenangkan dilihat dan karenanya disebut indah
oleh bangsa Yunani dulu ialah bentuk empat persegi. elips yang masing-masing mempunyai
proporsi 1:1,6 atau 3:5. Perimbangan itu dinamakan perbandingan keemasan (golden
ratio).
Teori
perimbangan berlaku dari abad ke-5 sebelum masehi sampai abad ke 17 masehi
selama 22 abad. Teori tersebut runtuh karena desakan dari filsafat empirisme
dan aliran-aliran termasuk dalam seni. Bagi mereka keindahan hanyalah kesan
yang subyektif sifatnya.
Keindahan
hanya ada pada pikiran orang yang menerangkannya dan setiap pikiran melihat
suatu keindahan yang berbeda-benda. Para seniman romantik umumnya berpendapat
bahwa keindahan sesungguhnya tercipta dari tidak adanya keteraturan, yakni
tersusun dari daya hidup, penggambaran, pelimpahan dan pengungkapan perasaan.
Karena itu tidak mungkin disusun teori umum tentang keindahan.
Adapun yang menjadi kesimpulan rangkuman
ini adalah sebagai berikut :
·
Keindahan berasal dari kata Indah, Keindahan adalah sifat
dari sesuatu yang memberi kita rasa senang bila melihatnya, keadaan yang enak
dipandang, cantik, bagus benar atau elok.
·
Merenung artinya secara diam-diam
memikirkan sesuatu hal kejadian dengan mendalam. Renungan adalah pembicaraan
diri kita sendiri atau pembicaraan dalam hati kita tentang suatu hal.
·
Keserasian berasal dari kata serasi;
serasi dari kata dasar Rasi artinya cocok, sesuai, atau kena benar . Kata
cocok, sesuai atau kena benar mengandung unsur pengertian per paduan, ukur an
dan seimbang.
Baca juga